Kasus hutang eskalasi Riau, perusahaan mantan Kepala BIN ikut dibayar Rp 49 milyar

Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono Jadi Presiden Komisaris PT DGIK/beritariau.com
REDAKAIRIAU.CO, PEKANBARU - Mungkin masih segar diingatan anda tentang kasus suap wisma atlet yang terjadi di bumi lancang kuning dan menjadi sorotan dari berbagai kalangan yang terkait.

Kala itu, 21 April 2011, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam bersama Direktur Marketing PT Anak Negeri milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin Nazaruddin, Mindo Rosalina Manullang dan Manajer Marketing PT Duta Graha Indah Mohammad El Idris ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran diduga menyuap memenangkan proyek Pembangunan Wisma Atlet tahun 2011 di Palembang.

Loading...

Nama perusahaan terakhir yakni, PT Duta Graha Indah (DGI) ini, adalah pemenang. Sementara, anak buah M Nazaruddin, Mindo, hanya berperan sebagai pengatur pemenangan dalam proyek itu. Saking seringnya diberitakan nama perusahaan ini cukup lekat dalam ingatan.

Dari penelusuran, perusahaan ini, didirikan tanggal 11 Januari 1982 dan memulai kegiatan usaha komersialnya pada tahun 1982. Kemudian, pada 19 Desember 2007 telah mencatakan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui Initial Public Offering (IPO) sebagai perusahaan terbuka alias Tbk. Dan, melalui rapat umum pemegang saham (RUPS) pada 9 Agustus 2012, perusahaan ini resmi berganti nama menjadi Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk.

?Data yang dihimpun Beritariau.com, PT Duta Graha Indah Tbk (kini Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk, red) mengangkat mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jend. (Purn) Dr Ir Drs Abdullah Hendropriyono, SH, SE, MBA, MH sebagai Presiden Komisaris.

Ternyata, dalam polemik kasus dugaan korupsi dalam pembayaran hutang eskalasi harga (hasil penghitungan penyesuaian harga, red) oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau ke 8 perusahaan kontraktor sebesar Rp222.895.826.691 pada APBD Perubahan tahun 2015 lalu, 1 diantara 8 perusahaan itu, ternyata PT Duta Graha Indah. Perusahaan ini ikut menerima pembayaran hutang sekitar Rp49 milyar lebih.

Untuk diketahui, basus ini berawal atas adanya permohonan dari 8 perusahaan melalui BANI terkait eskalasi ini adanya selisih perhitungan harga terkait 9 proyek multi years yang dikerjakan. Akhirnya, melalui putusan No. 352/V/ ARB-BANI/2010 yang dibacakan pada hari Senin tanggal 27 Desember 2010, BANI meminta Pemprov Riau membayarkan hutang eskalasi itu kepada rekanan.

Dalam putusan itu, perusahaan rekanan beralasan, eskalasi harga, harusnya berpedoman kepada Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 Pasal 9 Ayat 1. Dimana, perhitungan eskalasi harga dimulai sejak bulan Desember 2004, yaitu sejak bulan pertama pekerjaan. Sementara, Pemprov Riau meyakini, berdasarkan Pasal 9 ayat 4 dari kontrak, yang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 105/ PMK.06/2005 tanggal 9 November 2005 tentang Penyesuaian Harga Satuan dan Nilai Kontrak Kegiatan Pemerintah Tahun Anggaran 2005, eskalasi harga dimulai sejak bulan Oktober 2005 sesuai dengan lahirnya kebijakan moneter terhadap kenaikan bahan bakar minyak (BBM).

Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) pun menguatkan putusan BANI tersebut. Melalui putusan Nomor 709 K/Pdt.Sus/2011. Hakim Mahkamah Agung yang diketuai H Muhammad Taufik, SH, MH, menolak keberatan pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau yang diwakili oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum atas putusan banding sebelumnya yang menguatkan putusan BANI.

Putusan itu, mewajibkan Pemprov Riau untuk membayar eskalasi harga pada APBD Perubahan 2015 kepada 8 perusahaan rekanan dengan jumlah total sebesar Rp322.395.826.691.?

Rinciannya, untuk PT Pembangunan Perumahan (PP) (Persero) Tbk sebesar Rp113.841.020.412, PT Adhi Karya (Persero) Tbk sebesar Rp41.215.592.443, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebesar Rp31.504.906.623, PT Hutama Karya (Persero) Tbk berkerjasama dengan PT Duta Graha Indah sebesar Rp49.853.904.365, PT Waskita Karya (Persero) sebesar Rp20.459.969.777, PT Istaka Karya (Persero) sebe sar Rp29.580.157.994, PT Modern Widya Technical yang bekerjasama dengan PT Anisa Putri Ragil sebesar Rp11.520.971.085 dan PT Harap Panjang sebesar Rp24.419.304.658.

Dalam perjalanannya, BPKP sendiri justru menyatakan total hutang eskalasi yang harus dibayar sebesar Rp220 Milyar. Perbedaan angka antara BPKP dan BANI yang dikuatkan MA inilah yang membuat DPRD Riau sengaja tak menganggarkan pembayaran hutang itu di APBD Perubahan tahun 2015 lalu.

Namun, tiba-tiba diketahui, telah dibayarkan oleh Pemprov Riau dengan alasan adanya rekomendasi dari DPRD dalam pengusulan itu. ?Usut punya usut, ternyata, Banggar DPRD Riau sendiri waktu itu mengaku tak pernah membahas.

Atas pembayaran hutang 9 proyek multi years yang diduga tak sesuai prosedur yakni tanpa pembahasan di Badan Anggaran (Banggar) itu, puluhan anggota DPRD Riau mulai mengumpulkan tanda tangan menggunakan Hak Angket memanggil Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau.

"Bukan belasan lagi yang ikut (Hak Angket, red), tapi puluhan. Sudah Kuorum karena dalam Tatib (Tata Terbit, red), sedikitnya 10 orang anggota," kata Anggota DPRD Riau H Muhammad Adil, Rabu (23/03/2016).

Dijelaskannya, kasus ini sebenarnya kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor, red) yang besar. Lantaran ada dugaan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan orang lain.?

"Ini sudah jelas tipikor. Hutang itu memang akan dibayar. Namun, ada perbedaan jumlah. Dimana versi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp220 milyar, sedangkan versi Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebesar Rp320 milyar. Jadi, tak kita anggarkan. Kita tunggu sampai cocok dan ada dasar hukum. Kok tiba-tiba masuk ke Kemendagri dan dibayar tanpa dibahas," jelas Adil.

Bahkan, melalui salah satu media harian, Selasa (22/03/16) kemarin, ?Adil mengaku mendapat kabar ada fee (komisi, red) sebesar 2 persen yang diberikan kepada oknum-oknum yang terlibat dalam skenario meloloskan duit itu.

"Tunggu dan ikuti perkembangannya. Yang terlibat, siap-siap saja. Aparat hukum harus mengusut," pintanya.

Temuan mencurigakan ini juga disampaikan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau. Dikatakan, berdasarkan PP Nomor 70, pembayaran hutang tak boleh melebih 10 persen dari total nilai proyek.

Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial

Tulis Komentar


Loading...