"Yakinlah, perhutanan sosial yang rencananya akan diterapkan sangat rentan sekali menjadi polemik. Apalagi kalau sudah dimasuki kaum dan komunitas elit. Contoh sederhana di TNTN," kata Direktur Eksekutif Scale Up, Harry Octavian kepada bertuahpos.com, Rabu (16/11/2016).
Dia menyebutkan, berbicara soal hutan adat memang harus jelas peruntukannya. Pemberian hutan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan tidak ubahnya seperti obat untuk peredam konflik.
Ada empat skema yang ditawarkan. Yakni hutan kemasyarakatan, desa, kemitraan dan hutan tamanan rakyat. Empat ini yang difasilitasi LHK. "Sementata hutan adat yang didorong oleh masyarakat misalnya dari MK 35 itu berbeda dia harus dikeluarkan dari segala fungsi 12,7 juta hektar di Indoensia," katanya.
Penggiat lingkungan tidak yakin hadirnya perhutanan sosial akan mampu meredam perang antar masyarakat dan perusahan di Riau, yang dapat izin dari negara. Yang terpenting adalah akses kelola masyarakat terhadap SDA semakin nyata.
"Hari ini itu juga belum nasuk di Prolegnas. Kementerian sudah siapkan petanya. Masyarakat bisa ajukan itu. Termasuk untuk hutan desa. Pemanfaatannya juga sudah atur oleh pemerintah. Dikampung sangat kuat melihat strata sosialnya. Pertarungan ini juga sangat rawan. Cenderung di satu komunitas orang elit dan orang pintar akan mendominasi. Potensi konflik akan tetap ada," sambungnya.