Majelis hakim memiliki otoritas penuh dan mandiri untuk memeriksa, mengadili, dan memutus kasus tersebut. Putusan sah dan memiliki kekuatan hukum. Bagi pihak yang tidak puas, terbuka kesempatan untuk naik banding ke pengadilan tinggi.
Proses persidangan sebagaimana disiarkan beberapa stasiun televisi sungguh menarik. Bak sinetron, persidangan mampu "membius" pemirsa untuk terkesima terhadap pemikiran, sikap, dan perilaku pihak-pihak yang terlibat. Sebagai tontonan, seluruh fenomena yang terjadi di dalam persidangan, tergolong unik, dan mungkin mengasyikkan. Tetapi, untuk dijadikan sebagai tuntunan, ada beberapa catatan hukum yang patut dikaji seksama.
Pertama, pembunuhan merupakan kejahatan. Setiap manusia tidak menginginkan kejahatan ini terjadi. Upaya pencegahan dan penindakan perlu dilakukan.
Saya khawatir ada sementara pemirsa terinspirasi kasus pembunuhan ini, kemudian mencontoh berbuat kejahatan serupa. Secara sosiologis, psikologis, maupun empiris telah banyak bukti bahwa tayangan televisi acapkali menjadi sumber inspirasi terjadi kejahatan serupa. Tak ada benteng hukum sebagai pencegah masyarakat untuk mengapresiasinya.
Kedua, pemikiran, sikap, dan perilaku merupakan "cermin" ilmu. Luas atau sempit, dalam atau dangkal, pemilikan dan pengamalan ilmu hukum berkorelasi dengan pemikiran, sikap, dan perilakunya. Dalam persidangan terlihat ada pemikiran, sikap, dan perilaku aneh, bahkan tak terpuji. Misalnya, penegak hukum berkata kasar dan menyerang pribadi pihak lawan. Penonton bersorak-sorai.
Persidangan kasus Jessica merupakan ekspresi dari sepenggal keutuhan ilmu hukum sebagai genuine science. Apa yang terpapar dalam persidangan baru sebatas ilmu hukum sebagai practical science. Itulah ilmu hukum para praktisi. Orientasinya untuk meraih hal pragmatis. Karena itu, patut diingatkan kepada publik, pemirsa, dan khususnya penstudi ilmu hukum untuk hati-hati dan cerdas dalam memahami persidangan tersebut.
Ketiga, pola berpikir legal-positivistik terlihat sangat dominan digunakan oleh pihak-pihak terlibat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijadikan rujukan dan acuan persidangan.
Kita tahu dua kitab hukum tersebut warisan kolonial Belanda, berkarakter individual-liberalistik. Kita menggunakannya dalam keterpaksaan karena bangsa ini belum mampu membuat hukum pidana nasional sendiri. Implikasinya, karakter bangsa yang aslinya komunalistik-religius dipaksa berubah mengikuti karakter hukum kolonial tersebut. Sejujurnya, kita belum merdeka dan belum berdaulat dalam pemberlakuan hukum pidana.