Harapan Itu Muncul di Tengah Duka
REDAKSIRIAU.CO, --Lama hidup tenang di daerah rawan bencana alam, warga Desa Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan, Jawa Barat, dihantam tanah longsor, Selasa (20/9/2016). Harapan untuk masa depan lebih cerah muncul di tengah duka.
Raut wajah keras Wawan Setiawan (30) mendadak rapuh saat rintik hujan mulai turun membasahi tanah merah di sekitar rumahnya di Kampung Cimareme, Desa Ciherang, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Kamis (22/9/2016) siang.
Di depan rumah panggung, pandangannya berkali-kali menatap angkasa yang gelap. Sesekali ia memicingkan mata melihat puncak Bukit Cileutik, yang berjarak 300 meter dari rumahnya.
"Saya masih trauma setiap hujan datang. Inginnya cepat pergi dari sini," kata Wawan.
Ia sudah menyiapkan banyak pakaian di tas ranselnya, siap mengungsi. Wajar apabila Wawan begitu ketakutan. Dua hari yang lalu, rumah milik Akeh (45), tetangganya, berjarak sekitar 10 meter dari rumah Wawan, rata dihajar longsor Bukit Leutik. Desi (41), istri Akeh yang tengah mengandung, meninggal bersama dua anaknya, Iklima (16) dan Kintaro (8). Semuanya ditemukan tertimbun lumpur dalam kondisi tak bernyawa.
Bukan pilihan bijaksana
Hidup di daerah dengan kemiringan sekitar 30 derajat, menurut Solihin (70), warga Ciherang lainnya, jelas bukan pilihan bijaksana. Namun, bagi ia dan sebagian besar warga yang bekerja sebagai buruh tani dan bangunan di Bandung, pilihan itu dianggap paling realistis.
"Setiap hari saya mendapat upah Rp 50.000-Rp 80.000. Tetapi, dalam setahun, paling mendapat pekerjaan 3-4 bulan," katanya.
Minimnya pendapatan membuat warga semakin nekat. Mereka tak berpikir dua kali saat menggarap lahan gundul Bukit Cileutik dengan tanaman singkong dan ubi. Hasil panen sebagian besar dikonsumsi sendiri.
"Lahan gundul di sana seperti tak bertuan, mana milik negara mana milik swasta. Beberapa waktu lalu ada investor membuat jalan untuk perumahan ditentang warga. Kondisinya terlalu berbahaya," katanya.
Jalan memang tak jadi dibangun. Namun, tanpa pohon pelindung, Bukit Leutik tetap saja longsor. Selain 4 warga tewas, sedikitnya 350 warga masih mengungsi di GOR Tajimalela, Sumedang. Sekitar 300 orang lainnya menumpang di rumah kerabat atau tetangga.
Mereka berharap ada transfer ilmu pengetahuan untuk hidup di daerah bencana. Bentuknya beragam, bisa pemasangan alat pemantau longsor, seperti di Anjung, kampung tetangga, atau pembuatan saluran air tambahan agar mereka bisa mengantisipasi. Minimal mengetahui tanda-tanda bencana lebih awal.
Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial
Tulis Komentar
Loading...