Indonesia Masih Kekurangan SDM Terdidik Dibidang Optik
REDAKSIRIAU.CO, KOMPAS.com - Indonesia ternyata banyak masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) terdidik dan terlatih di bidang optik. Indonesia ternyata kekurangan ribuan "Refraksionist Optician" atau RO.
"Refraksionist Optician" atau Refraksionis Optisien adalah sebutan salah satu profesi di bidang optik, atau yang lebih tinggi lagi disebut Optometris.
Seorang Refraksionis Optisien atau Optometris setelah lulus dari pendidikannya harus dan wajib mengangkat sumpah profesi sebagai syarat mutlak dalam dunia kesehatan.
Pekerjaan ini berkaitan dengan alat rehabilitasi dalam bentuk kacamata maupun lensa kontak (contact lens), serta lensa tanam atau Intra Oculer Lens (IOL) sebagai pengganti lensa asli pada bolamata.
Sesuai dengan aturan Kementerian Kesehatan, setiap optik di Indonesia harus memiliki satu RO agar bisa menerima resep pembuatan kacamata, lensa kota dan lensa tanam sesuai standar kesehatan. Jika tidak memiliki RO, maka hanya disebut toko kacamata biasa.
Bos PT Optik Tunggal Michael Kurniawan mengatakan, saat ini ada sekitar 4.500 optik di Indonesia, sementara jumlah RO baru sekitar 2.200 orang. Oleh sebab itu, Kementerian Kesehatan kemudian memberikan dispensasi, satu RO bisa bekerja di dua optik sekaligus.
"Tenaga ahli bidang optik di Indonesia masih sangat kurang secara kualitas SDM. Itu sebabnya kami di Optik Tunggal punya dua sekolah yang khusus mencetak RO," kata Michael kepada Kompas.com, usai konferensi pers kerja sama Optik Tunggal dengan produsen optik asal Jerman, Carl Zeiss di Jakarta, Rabu (3/8/2016).
Lama pendidikn RO selama tiga tahun. Dengan mendirikan sekolah khusus RO, setiap cabang Optik Tunggal memiliki satu RO per optik, dan tidak bekerja di optik lain. Dengan demikian, menjamin kualitas setelan kacamata atau lensa mata untuk pelanggan high end di Optik Tunggal.
"Dengan memberikan pelayanan prima kepada setiap pelanggan, kami berhasil mempertahankan pelanggan loyal kami, walaupun kami menyasar pelanggan menengah atas," lanjut Michael.
Dia melanjutkan, tidak tertarik untuk menambah RO dari luar negeri, sebab yakin tenaga RO bisa dicetak dari dalam negeri.
Darurat Tenaga Terampil
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rudianto Handojo mengatakan, Indonesia kekurangan sekitar 10.000 insinyur per tahun. Padahal, insinyur kini amat diperlukan untuk menopang proyek infrastruktur.
Menurut dia, besarnya kebutuhan industri akan insinyur dan tenaga teknis seharusnya menyadarkan dunia pendidikan untuk mengubah orientasi.
Di jenjang perguruan tinggi, saatnya titik berat program studi condong ke bidang sains-keteknikan ketimbang sosial-humaniora.
Adapun di jenjang pendidikan menengah, orientasi hendaknya menukik pada bidang vokasi (kejuruan) sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Patdono Suwignjo mengatakan, salah satu penyebab lulusan insinyur tidak lagi berkecimpung di bidangnya karena masih minimnya penghargaan.
Hal tersebut membuat para lulusan insinyur yang cemerlang pun memilih untuk berkarier di luar negeri. Di luar negeri, jasa mereka lebih dihargai.
“Ini ironi di tengah pesatnya membangun infrastruktur di dalam negeri,†ujar Patdono.masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) terdidik dan terlatih di bidang optik. Indonesia ternyata kekurangan ribuan "Refraksionist Optician" atau RO.
"Refraksionist Optician" atau Refraksionis Optisien adalah sebutan salah satu profesi di bidang optik, atau yang lebih tinggi lagi disebut Optometris.
Seorang Refraksionis Optisien atau Optometris setelah lulus dari pendidikannya harus dan wajib mengangkat sumpah profesi sebagai syarat mutlak dalam dunia kesehatan.
Pekerjaan ini berkaitan dengan alat rehabilitasi dalam bentuk kacamata maupun lensa kontak (contact lens), serta lensa tanam atau Intra Oculer Lens (IOL) sebagai pengganti lensa asli pada bolamata.
Sesuai dengan aturan Kementerian Kesehatan, setiap optik di Indonesia harus memiliki satu RO agar bisa menerima resep pembuatan kacamata, lensa kota dan lensa tanam sesuai standar kesehatan. Jika tidak memiliki RO, maka hanya disebut toko kacamata biasa.
Bos PT Optik Tunggal Michael Kurniawan mengatakan, saat ini ada sekitar 4.500 optik di Indonesia, sementara jumlah RO baru sekitar 2.200 orang. Oleh sebab itu, Kementerian Kesehatan kemudian memberikan dispensasi, satu RO bisa bekerja di dua optik sekaligus.
"Tenaga ahli bidang optik di Indonesia masih sangat kurang secara kualitas SDM. Itu sebabnya kami di Optik Tunggal punya dua sekolah yang khusus mencetak RO," kata Michael kepada Kompas.com, usai konferensi pers kerja sama Optik Tunggal dengan produsen optik asal Jerman, Carl Zeiss di Jakarta, Rabu (3/8/2016).
Lama pendidikn RO selama tiga tahun. Dengan mendirikan sekolah khusus RO, setiap cabang Optik Tunggal memiliki satu RO per optik, dan tidak bekerja di optik lain. Dengan demikian, menjamin kualitas setelan kacamata atau lensa mata untuk pelanggan high end di Optik Tunggal.
"Dengan memberikan pelayanan prima kepada setiap pelanggan, kami berhasil mempertahankan pelanggan loyal kami, walaupun kami menyasar pelanggan menengah atas," lanjut Michael.
Dia melanjutkan, tidak tertarik untuk menambah RO dari luar negeri, sebab yakin tenaga RO bisa dicetak dari dalam negeri.
Darurat Tenaga Terampil
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rudianto Handojo mengatakan, Indonesia kekurangan sekitar 10.000 insinyur per tahun. Padahal, insinyur kini amat diperlukan untuk menopang proyek infrastruktur.
Menurut dia, besarnya kebutuhan industri akan insinyur dan tenaga teknis seharusnya menyadarkan dunia pendidikan untuk mengubah orientasi.
Di jenjang perguruan tinggi, saatnya titik berat program studi condong ke bidang sains-keteknikan ketimbang sosial-humaniora.
Adapun di jenjang pendidikan menengah, orientasi hendaknya menukik pada bidang vokasi (kejuruan) sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Patdono Suwignjo mengatakan, salah satu penyebab lulusan insinyur tidak lagi berkecimpung di bidangnya karena masih minimnya penghargaan.
Hal tersebut membuat para lulusan insinyur yang cemerlang pun memilih untuk berkarier di luar negeri. Di luar negeri, jasa mereka lebih dihargai.
“Ini ironi di tengah pesatnya membangun infrastruktur di dalam negeri,†ujar Patdono.
Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial
Tulis Komentar
Loading...