Loading...
Bergaya Hidup ala Biksu
REDAKSIRIAU.CO, PERJALANAN menuju Tokyo, tepatnya ke Prefektur Wakayama, Jepang, dengan pesawat hanya butuh waktu 1,5 jam, tetapi rasanya seperti seabad.
Tak sabar rasanya menginap di dalam kuil seperti para biksu Buddha di tengah-tengah kota kecil Koyasan berusia 1.200 tahun yang masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO itu.
Setelah berkendara 1-2 jam dari Bandara Kansai, akhirnya saya dan Ibu Michiyo Sasaki (penerjemah selama di Jepang) sampai juga di Koyasan di dataran tinggi Koya, 900 meter di atas permukaan laut. Lembah Koyasan berbentuk seperti bunga teratai karena dikelilingi delapan bukit.
Untung kami dijemput Hirai Masanobu, staf kantor gubernur Wakayama, dengan mobil sehingga bisa menikmati perjalanan lebih bebas.
Meski jalan menanjak penuh liku tajam, tak sampai membuat mabuk darat karena sudah kadung mabuk asmara dengan pemandangan hutan lebat seperti lukisan sepanjang jalan.
Belum selesai mengagumi pemandangan, sampailah di depan Kuil Jofukuin. Saya kira ini situs suci yang masuk daftar kunjungan kami. Ternyata di kuil inilah kami akan menginap.
Awalnya, kuil menyediakan tempat menginap hanya untuk calon biksu yang mengikuti pelatihan ajaran Singon Buddha yang disebarkan Kobo Daishi (Kukai), tokoh religius yang dihormati di Jepang, pada tahun 805. Tetapi penginapan kuil kemudian dibuka untuk umum.
Dengan meningkatnya jumlah pengunjung, menjamur pula kuil hingga 1.812 kuil pada tahun 1832. Kini tersisa 117 kuil, 52 kuil di antaranya menyediakan shukubo (penginapan).
Koyasan menjadi pilihan Kobo Daishi, atas izin kekaisaran, untuk mengembangkan ajaran Singon Esoterik Buddha. Tercatat ada 3.000 kuil Singon Buddha di Jepang dan 20 di Amerika Selatan dan Utara.
Setelah melepas sepatu dan berganti sandal (aturan shukubo), kami disambut resepsionis yang ternyata bikuni di kuil ini. Ia mengantar kami ke kamar sambil berpesan agar membaca buku panduan menginap di shukubo. Yang saya ingat cuma dua: tak boleh berisik dan berpakaian sopan saat menjelajahi kuil.
Ketika bikuni membuka pintu geser kayu berdinding kertas, terlihat lantai kamar berlapis tikar tatami dari jerami padi dan anyaman rumput.
Meski berdesain tradisional, ternyata fasilitas kamar secanggih kamar hotel pada umumnya. Ada toilet duduk canggih dengan aneka tombol, televisi 32 inci, kipas angin, telepon, sinyal Wi-Fi gratis, dan, ini yang luar biasa, ada kursi pijat seperti yang sering kita temui di mal di Indonesia.
”Tidak semua kamar seperti ini. Ada yang sederhana tanpa semua fasilitas ini. Toilet di luar,” kata bikuni itu.Setiap shukubo menawarkan suasana, fasilitas, taman, dan shojin ryori (hidangan tanpa daging ala vegetarian penganut ajaran Buddha) yang berbeda-beda.
Untuk kepastian harga, bisa dicek di situs resmi Koyasan, tetapi kira-kira 5.000 yen hingga 15.000 yen per orang per malam, termasuk sarapan dan makan malam. Siap-siap saja bawa uang tunai karena biasanya kuil hanya menerima pembayaran tunai.
Hanya satu hal yang sama di semua shukubo, fasilitas kamar mandi bersama. Meski laki-laki dan perempuan dipisah, tetap saja sulit, setidaknya bagi saya, membayangkan harus mandi bersama orang asing di bak mandi yang sama tanpa satu helai benang pun di badan.
Ini tradisi masyarakat Jepang yang mungkin tak lazim di negara lain. Mungkin menangkap kepanikan di wajah saya, mbak-mbak bikuni itu menambah informasi penting ini, ”Kalau mau, kami juga ada kamar mandi privat. Nanti kunci bisa diambil di resepsionis,” ujarnya sambil senyum. Fiuh….
Tanpa daging
”Makan malam sudah siap,” panggil Sasaki-san mengagetkan. Tiba di ruang makan, ada biksu sedang menyiapkan shojin ryori, hidangan tanpa daging atau bumbu beraroma tajam.
Hidangan yang berasal dari Tiongkok itu sudah diadaptasi para biksu di Jepang selama ratusan tahun. Sesuai ajaran Buddha, semua bahan harus nonhewani dan hidangannya harus selalu berdasarkan prinsip lima rasa, lima cara memasak, dan lima warna.
Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial
Tulis Komentar
Loading...