Tradisi Sembahyang Rebut di Bangka, Seimbangkan Kekuatan Yin dan Yang

REDAKSIRIAU.CO, PANGKALPINANG, - Ritual sembahyang rebut yang dilaksanakan masyarakat Desa Konghin Pemali, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menjadi tradisi spiritual sekaligus menghibur bagi masyarakat setempat. Dalam tradisi ini, kekuatan yin dan yang diselaraskan dengan kehidupan umat manusia. “Ini adalah tradisi umat Konghucu yang dilaksanakan setiap bulan ketujuh. Lazimnya pada pertengahan bulan saat bulan penuh atau purnama,” kata Koordinator Pelaksana Sembahyang Rebut, Waryanto, kepada Kompas.com, seusai pagelaran acara, Jumat (19/8/2016). Malam itu, sembahyang rebut dipusatkan di sebuah vihara di Desa Pemali. Di tengah-tengah lapangan vihara, telah berdiri sebuah replika sosok “Raja Hantu” setinggi 10 meter. Persis di depan replika raksasa tersebut, terdapat altar sesajen, serta berbagai jenis hasil pertanian yang digantung pada tiang-tiang kayu. Istilah sembahyang rebut bermula dari aksi para pengunjung yang saling berebutan untuk mendapatkan hasil pertanian yang digantung di depan altar sesajen. Dalam hitungan menit, hasil pertanian yang terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, kelapa, hingga makanan kemasan, ludes diserbu pengunjung. Aneka jenis hasil pertanian serta makanan yang tersedia, kata Waryanto, sebagai simbol keharusan umat manusia untuk saling berbagi. Pesan lain yang disampaikan, dalam tradisi ini agar setiap manusia senantiasa berusaha sekuat tenaga atau menghindari kebiasan berpangku tangan. “Menurut kepercayaan Konghucu, bulan tujuh termasuk bulan yang harus dijaga keseimbangannya. Ada saatnya menerima dan ada saatnya memberi, sehingga antara yin dan yang itu bisa seimbang,” kata Waryanto. Bakar "Raja Hantu" Sementara gangguan dan godaan umat manusia disimbolkan dengan dibangunnya replika sosok “Raja Hantu”. Pada akhir acara sembahyang rebut, “Raja Hantu” berserta replika kuda putih, perahu dan semua altar dimusnahkan dengan cara dibakar. Proses pembakaran replika inilah yang menjadi puncak acara. Kobaran api terlihat begitu mencolok yang sekaligus menghangatkan suasana malam. Beberapa di antara pengunjung bahkan harus mundur, karena api yang berkobar menimbulkan suhu panas hingga belasan meter. Tokoh masyarakat Tionghoa, Basuri T Purnama, menilai, tradisi sembahyang rebut sebagai kearifan yang melambangkan semangat kebersamaan dan pluralisme. “Dari mana pun asalnya mereka bisa saling berbagi dalam kegiatan ini,” ujar Basuri. Memang, partisipasi masyarakat dalam tradisi ini tidak hanya berbentuk sesajen. Tapi juga dalam penggalangan dana melalui lelang payung dewa. Payung dengan aneka warna itu dipasang bertingkat, kemudian dilepas kepada penawar tertinggi. Satu per satu payung terjual dengan harga Rp 3 juta sampai Rp 10 juta. Sementara kemeriahan acara tidak hanya didominasi ritual keagamaan, tetapi juga dipadu dengan pertunjukan seni beladiri, gendang, kembang api hingga penampilan para artis cantik lokal maupun nasional.

Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial

Tulis Komentar


Loading...