Hari Kebebasan Pers Dunia, UNESCO Desak Semua Negara Buka Akses Informasi Publik

Foto ; Narendra Hutomo Direktur Jenderal UNESCO, Irina Bokova, menyampaikan pidato dalam pembukaan perayaan World Press Freedom Day (WPFD) atau Hari Kebebasan Pers Dunia 2016 di Helsinki, Finlandia, Selasa (3/5/2016). WPFD 2016 berlangsung pada 3-4 Mei 20

REDAKSIRIAU.CO, HELSINKI - Direktur Jenderal UNESCO, Irina Bokova, di Hari Kebebasan Pers Dunia yang bertepatan dengan 3 Mei 2016, mendesak semua negara untuk membuka akses semua informasi publik sebagai bentuk penghargaan terhadap salah satu hak dasar warga negara, yaitu hak atas informasi.

 

“Transparansi dan akuntabilitas informasi adalah bagian dari pilar demokrasi serta pemerintahan yang baik,” kata Irina ketika membuka forum Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day 2016 di Helsinki, Finlandia, Selasa (3/5/2015) waktu setempat.

Loading...

 

Menurut Irina, keterbukaan informasi publik membutuhkan lingkungan dan sistem pemerintahan yang kondusif. Pemerintah harus memaknai bahwa pemenuhan hak warga terhadap informasi bisa berguna untuk meningkatkan kinerja aparatur negara.

 

"Ini penting karena bisa menjadi fondasi untuk pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan," kata Irina.

 

Salah satu kandidat Sekjen PBB itu menegaskan, selain pemerintah, banyak kalangan akan diuntungkan dengan keterbukaan informasi. Wartawan dan kelompok pemantau pemerintah adalah contohnya.

 

Menurut Irina, wartawan adalah salah satu kalangan yang paling sering mengalami tekanan ketika berusaha membuka atau mendapatkan informasi publik. Tekanan tersebut muncul dalam berbagai bantuk, mulai dari ancaman hingga pembunuhan.

 

"Jurnalis menghadapi kematian," katanya menegaskan.

 

Menurut catatan UNESCO, ada 825 jurnalis dari seluruh dunia tewas dalam menjalankan tugasnya dalam sepuluh tahun terakhir. Namun, hanya enam persen kasus yang telah terselesaikan. Irina meminta pemerintah dari semua negara untuk menindaklanjuti proses hukum terhadap kasus-kasus itu.

 

Kondisi Indonesia tidak tidak terlalu berbeda. Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia,  sedikitnya telah terjadi 12 kasus pembunuhan jurnalis sejak 1996. Delapan dari 12 kasus itu belum terselesaikan.

 

Delapan kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia yang belum terselesaikan itu adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta), Naimullah (Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat), Agus Mulyawan (Asia Press di Timor Timur), Muhammad Jamaluddin (TVRI di Aceh), Ersa Siregar (RCTI di Nangroe Aceh Darussalam), Herliyanto (tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur), Adriansyah Matra’is Wibisono (TV lokal di Merauke, Papua),  dan Alfred Mirulewan (tabloid Pelangi, Maluku).



Pers publik

 

Keterbukaan informasi publik sebaiknya didukung oleh aturan perundang-undangan. AJI menganggap keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik belum memberikan jaminan penuh.

 

Berdasarkan catatan AJI dan Yayasan TIFA yang dibukukan dengan judul “Buku Kumpulan Naskah Penerima Beasiswa Liputan Implementasi UU KIP – Menggedor Pintu, Mendobrak Sekat Informasi”, proses pembukaan informasi publik bukanlah perkara mudah.

 

Buku itu berisi kisah sembilan jurnalis yang menemui berbagai hambatan ketika mengajukan permohoan pembukaan informasi publik. Jumlah permohonan pembukaan informasi publik akan jauh lebih banyak jika mengikut sertakan permohonan yang diajukan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat.

 

Pengamat media Ade Armando menjelaskan, keterbukaan informasi sebaiknya juga diimbangi dengan peningkatan pengelolaan media sehingga menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas utama.

 

Ade yang ditemui di Helsinki, Selasa siang waktu setempat, menyebut sistem pengelolaan lembaga penyiaran publik di Eropa sebagai contoh yang bagus. Menurut dia, keberadaan lembaga penyiaran publik di Eropa, terutama Eropa bagian barat, tidak untuk mencari keuntungan.

 

"Iya itu (laporan jurnalistik mendalam) bisa dilakukan karena Eropa punya sistem public broadcasting yang bagus, terutama di Eropa barat. Memang tujuannya bukan mencari uang kerena bisa didanai negara. Sehingga, mereka bisa mudah membuat laporan-laporan mendalam itu," ujar Ade Armando setelah menjadi pembicara salah satu sesi World Press Freedom Day 2016.

 

Baginya, Indonesia memiliki pers yang bebas, namun sayangnya kebebasan itu berorientasi komersial.

Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial

Tulis Komentar


Loading...