REDAKSIRIAU.CO.ID — Rasa cemas yang menyelimuti pasar dunia terhadap ekspor paha kodok beku dari Indonesia, dianggap masih dalam tahap kewajaran.
Hamparan jutaan hektar sawah di Indonesia memang sejak lama menjadi surga bagi kodok sawah untuk berkembang biak. Bahkan, Indonesia menjadi negara terbesar dalam ekspor komoditi ini untuk memenuhi permintaan pasar dunia
“…dan angka yang besar ini membuat Indonesia mendapatkan kritik dari pemerhati satwa liar,” kata Dr Mirza Dikari Kusrini, seorang Pakar Ekologi Satwa Liar Herpetofauna dari IPB University, yang telah mendalami satwa amfibi dan reptil selama beberapa dekade.
“Jumlah yang banyak ini selalu menjadi pertanyaan dari pihak luar karena dikhawatirkan akan mempengaruhi populasi katak sawah. Bahkan ada keinginan dari beberapa pihak di luar negeri agar katak sawah yang diekspor masuk ke dalam appendix 2 CITES yang berarti akan ada pembatasan ekspor,” ujarnya.
Dr Mirza telah melakukan penelitian mengenai dampak perdagangan kaki kodok beku di tahun 2001-2005. Hasil penelitiannya yang sudah berusia 15 tahun ini menunjukkan bahwa angka ekspor hingga puluhan juta ekor ini masih dinilai aman, karena jenis yang dipanen adalah katak sawah.
“Data hasil dari penelitian katak sawah ini, yang dulu dianggap tidak diperlukan, kini sangat berguna sebagai argumen bahwa pemanenan katak sawah di Indonesia masih aman. Saat itu saya melakukan pemodelan untuk melihat populasi katak sawah dengan menggunakan data jumlah telur, kemampuan bertahan hidup, dan bagaimana pemanenan dilakukan,” ungkapnya
Namun, yang jadi masalah adalah, spesies yang biasanya dipanen seringkali diabaikan. Bila keberadaannya hilang tanpa disadari, maka akan berdampak terhadap ketidakstabilan ekosistem. Selain itu, jenis-jenis yang dianggap biasa ada di sekitar ladang bisa “hilang” tanpa sadar.
Sebagai contoh, perubahan yang terjadi di kampus membuat keberadaan kodok buduk semakin sulit ditemui. Keberadaan herpetofauna atau satwa liar jenis amfibi dan reptil sangat penting bagi keseimbangan ekosistem.
Herpetofauna berperan dalam menjaga keseimbangan rantai makanan di lingkungan sekitar, tidak hanya di alam liar. Namun demikian, keberadaannya sering dinilai sebelah mata oleh masyarakat.
“Saya juga mendorong gerakan citizen science untuk mengajak masyarakat umum melaporkan keberadaan amfibi dan reptil melalui aplikasi i-Naturalist di bawah proyek Go-ARK (Gerakan Observasi Amfibi Reptil Kita),” ujarnya.
Caranya terbilang sederhana dan mudah dipahami. Penggunaannya mirip media sosial dengan tambahan data lokasi GPS. Data ini dapat dipakai untuk menunjukkan keberadaan dan status spesies herpetofauna di alam. Proyek ini bahkan berhasil menemukan jenis baru katak pohon di Cagar Alam Leuweung Sancang.
sumber : bertuahpo.com