REDDAKSOROAI.CO.ID darurat krisis ekonomi yang memaksa pihak berwenang sewaktu-waktu dapat menyita stok makanan pokok serta menetapkan harga tertinggi, demi menahan inflasi karena krisis valuta asing.
Hal itu ditempuh untuk mengamankan pasokan bahan makanan, seperti gula dan beras dengan harga yang wajar. Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengumumkan keadaan darurat di bawah peraturan keamanan publik pada pekan lalu.
Pemerintah menunjuk seorang mantan jenderal angkatan darat sebagai komisaris layanan penting, yang akan menyita stok makanan dari pedagang serta pengecer, lalu menentukan harganya, sebagaimana dilansir dari CNNIndonesia.com.
“Petugas yang berwenang akan dapat mengambil upaya-upaya untuk menyediakan bahan makanan penting dengan harga murah kepada masyarakat, dengan membeli stok bahan makanan penting termasuk padi, beras dan gula,” jelas pernyataan resmi media kepresidenan Sri Lanka, dikutip Reuters, Rabu 1 September 2021.
Baca: Firdaus Minta ASN Nyumbang untuk Masyarakat PPKM Level 4 di Pekanbaru
“Barang-barang tersebut akan dibanderol dengan harga yang dijamin pemerintah atau berdasarkan nilai bea cukai barang impor untuk mencegah perbedaan (harga) pasar,” lanjut pernyataan itu.
Usai pengumuman itu, pemerintah mulai menyita stok gula dan beras dari gudang-gudang. Mereka akan melepasnya di pasar terbuka dengan harga yang sudah ditentukan.
“Pemerintah telah melakukan lebih dari 1.000 penggerebekan selama beberapa pekan terakhir untuk menyita stok bahan dari gudang di seluruh negeri,” terang Menteri Layanan Koperasi, Lasantha Alagiyawanna.
Ia juga mengatakan pemerintah mulai menetapkan harga eceran maksimum untuk beras dan gula pada hari Kamis kemarin. Meski begitu, pemerintah setempat menampik terjadi krisis pangan.
“Pengendalian harga sangat penting saat ini. Tapi kami berharap tidak dalam jangka panjang. Kami tidak melihat kekurangan pangan di negara ini,” imbuh Alagiyawanna kepada media.
Pemerintah justru mengatakan menerima laporan bahwa pedagang menimbun bahan makanan pokok, seperti padi, beras dan gula dalam jumlah besar, dengan tujuan dijual lagi dengan harga lebih tinggi.
Sementara itu, pemilik toko khawatir tindakan yang lebih ketat akan berdampak tidak adil terhadap mereka.
“Kami menjual dengan harga yang diberikan pedagang grosir. Pemilik toko kecil juga harus mencari nafkah dan harga kami diperas, sehingga kami hampir tidak punya apa-apa,” kata pemilik toko kelontong W.A. Jayasekera.
Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi hingga krisis pangan. Pandemi Covid-19 disebut turut memperburuk kondisi negara ini. (betiahpos