Penegak Hukum Wajib Selidiki Dugaan Pencaplokan Lahan Oleh Sinarmas

Ilustrasi/Ist
REDAKSIRIAU.CO, JAKARTA - Malang nian nasib Japin dan Vitalis Andi yang menjadi korban kriminalisasi. Meski sudah diputus tidak bersalah oleh Mahkamah Agung, status lahan mereka dan warga adat Silat Hulu yang diduga dicaplok secara paksa oleh PT Bangun Nusa Mandiri (anak perusahaan Sinar Mas) belum ada kejelasannya hingga kini.

Padahal, tanah ratusan hektar tersebut milik masyarakat adat sejak dulu dan bisa dibuktikan dengan pemetaan partisipatif. PT. Bangun Nusa Mandiri berdalih, wilayah adat yang digusur bukanlah wilayah adat masyarakat Silat Hulu, tetapi wilayah adat warga Bayam Lalang.  

Loading...

Menyikapi kondisi tersebut, Pengamat Kebijakan Publik Institute of Justice and Law Enforcement Indonesia (IJLEI) Yanuar Wijanarko mengatakan, pemulihan nama baik korban kriminalisasi saja tidak cukup. "Harus ada kepastian hukum atas lahan masyarakat adat Silat Hulu yang diduga dirampas perusahaan tersebut. Kepolisian harus membuka kembali penyelidikan kasus ini dengan memeriksa ulang pihak perusahaan, para penyidik kedua korban kriminalisasi, serta pemerintah daerah setempat," kata Yanuar di Jakarta, Rabu (21/12/2016).

Menurutnya, arah kebijakan hukum pertanahan di Indonesia harus mencakup hak dasar, yakni konstitusional rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan prinsip kesederajatan manusia. "Jangan karena masyarakat disana masih awam terhadap hukum positif jadi bisa dipermainkan seenaknya. Ingat, di negeri ini semua orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum," urainya.

Yanuar menuturkan, apa yang dialami masyarakat adat Silat Hulu merupakan contoh penegakan hukum sumberdaya alam yang sangat tidak adil. Hal tersebut justru mengancam eksistensi masyarakat hukum adat yang sangat rentan penggusuran dengan cara mengatasnamakan atau mendapatkan ijin dari negara.

Berkaca putusan MK dibacakan untuk perkara nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan tanggal 16 Mei 2013, hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Artinya, masyarakat hukum adat  dinyatakan sebagai subjek pemangku hak (right-bearing subject). 

"Putusan MK itu menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap akses rakyat atas hutan yang diatur secara adat tidak dapat dibenarkan secara konstitusional. Apa yang terjadi di Silat Hulu ini sudah pelanggaran HAM," pungkasnya.

Awalnya, kriminalisasi ini terungkap dari pemberitaan sebuah media cetak terkemuka di Jakarta. Japin dan Vitalis Andi dinyatakan bersalah melakukan perbuatan mengganggu jalannya usaha perkebunan, dan dipidana 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Ketapang, dengan perkara nomor 151/Pid.B/2010/PN.KTP.

  Tak terima putusan tersebut, Japin dan Vitalis Andi, secara bersama-sama dengan korban kriminalisasi lainnya dari Sumatera Utara dan Blitar, mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

  Melalui Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010, MK telah membatalkan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan. Berbekal putusan MK tersebut, Vitalis Andi dan Japin mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung Nomor 2292 K/Pid.Sus/2011 dan hasilnya berpihak kepada masyarakat adat dan korban kriminalisasi ini.

  Permohonan Peninjauan Kembali (PK) dikabulkan Majelis Hakim PK membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2292 K/Pid.Sus/2011 dan merehabilitasi nama para terpidana dan memulihkan hak-hak para terpidana dalam kedudukan, harkat dan martabatnya.

Majelis hakim PK menemukan hal-hal baru dalam permohonan PK tersebut yakni putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/PUU-VIII/2010 pada September 2011. Putusan itu membatalkan ketentuan Pasal 21 jo Pasal 47 ayat (1) UU No.18/2004 tentang Perkebunan karena bertentangan dengan UUD 1945.

Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial

Tulis Komentar


Loading...