Mencermati Orang Tidak Beribadah (Perspektif Tasawuf)

ilustrasi
REDAKSIRIAU.CO - Orang tidak berpuasa pada bulan Ramadan itu ada tiga. Pertama, orang non muslim, kedua orang muslim yang uzur yang menyebabkan dia mendapat dispensasi untuk tak berpuasa, ketiga orang yang memang tak mau berpuasa karena menganggap remeh puasa. Kelompok ketiga ini sering diacuhkan secara moral oleh masyarakat muslim yang berpuasa.

Tapi mari melangkah lebih jauh dalam dunia sufi. Pertama, jika kita berpuasa sebenarnya kita sedang apa. Sedang menjalankan suatu kewajiban sebagai hamba, ataukah hanya ikut-ikutan trend massal di masyarakat. Dalam kasus ini perspektif syukur wajib kita tanamkan dalam-dalam. Dengan syukur atas nikmat mau dan dapat berpuasa, kita takkan pernah meremehkan orang yang tak berpuasa. Dalam tataran ini, puasa harus dimaknai sebagai tahadduts binni’mah (memperlihatkan nikmat) di hadapan manusia.

Adakah nikmat yang lebih besar dari iman dan Islam dan ketaatan untuk patuh di atasnya. Bagi kita tak ada nikmat sebesar itu. Nikmat iman dan islam di atas nikmat segalanya. Nikmat iman-islam di atas nikmat harta, keluarga bahkan ilmu. Alquran mengatakan bahwa ada orang berilmu tapi finalitas hidupnya diakhiri dengan kekafiran seperti Bal’am Baura (QS 7:175). Ada pula figur populer seperti Alquran yang memiliki persepsi bahwa kekayaannya yang melimpah itu dihasilkan dari ilmunya sendiri bukan karunia Allah (QS 28:78). Ilmu yang tinggi bukan jaminan seseorang berada dalam ketaatan kepada Allah.

Loading...
Begitupun harta dan anak-anak yang bisa jadi merupakan fitnah (ujian) (QS 64:14-15). Karenanya, iman, Islam, dan taat, itulah nikmat kita yang paling urgen dalam hidup ini. Menjalankan ketaatan kepada Allah harus berada dalam perspektif syukur tahadduts binni’mah. Dengan konsep tahadduts binni’mah kita akan merasa bahwa kita berpuasa karena kehendak Allah. Pada gilirannya, kita takkan sombong dengan amal kita apalagi sampai meremehkan amal orang lain.

Qaul ulama tasawuf, Ibnu Athaillah Al Sakandari dalam Kitab Al Hikam begitu menarik untuk dicermati. Ada dua qaul yang menggelisahkan jiwa saya. Pertama, Ibnu Athaillah berkata “maksiyatu awratsat dzullan waftiqoron khoirun min thooatin awratsat izzan wastikbaran (maksiat yang melahirkan rasa hina dan papa lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan kesombongan). Ibnu Athaillah bukan mengajak kita menuju maksiat. Bukan pula meremehkan ketaatan. Qaul ini hanya mempersoalkan bahwa di antara ketaatan yang dipertunjukkan massal itu terkadang terselip kesombongan karena telah berbuat baik.

Mereka yang meremehkan orang yang tidak berpuasa dan lalai untuk mengoreksi diri sendiri pada dasarnya telah sombong atas amal baik yang telah dilakukan. Jangan sampai perbuatan baik kita tercuri oleh kebanggaan atas amal yang kita lakukan. Amal yang kita lakukan haruslah atas dasar ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena lainnya. Di awal paragraf telah saya jelaskan seharusnya amal yang kita lakukan seandainya harus dipertontonkan di hadapan publik semata-mata karena tahadduts binni’mah, bukan lainnya.

Jangan sampai ikhlas kita tercuri. Bukankah Iblis bisa menggoda semua manusia kecuali mereka yang ikhlas (illa ibadaka minhumul mukhlasin). Hanya mereka yang ikhlaslah yang takkan tergoda iblis. Kepada makhluk kita harus bersikap tawadhu’. Bisa jadi mereka yang bermaksiat hari ini sebenarnya dalam hati mereka tersimpan suatu rasa hina kepada Allah. Bisa jadi dalam qalbu mereka tersimpan rasa penyesalan mendalam. Kita tak pernah tahu akan kedalaman hati seseorang. Dalamnya samudera dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.

Qaul kedua yang menggelisahkan dari Ibnu Athaillah bunyinya begini “Anta ila hilmihi idza atho’tahu ahwaju minka ila hilmihi idza asoitahu” (Engkau lebih membutuhkan belas kasih Allah ketika taat daripada ketika maksiat). Qaul ini mengajarkan bahwa ketika taat, kita lebih butuh kasih Allah daripada ketika maksiat, karena sifat Allah yang membolak-balikkan hati. Dalam hidup ini pilihan hidup hanya ada dua. Ka lau tidak taat ya maksiat, kalau tidak mukmin ya kafir, kalau tidak jadi orang baik ya jadi orang jahat, kalau tidak haq ya batil. Hari ini kita menjadi orang taat, mungkinkah besok ketaatan tetap kita pegang. Tahun ini kita berpuasa karena iman, mungkinkah tahun depan kita tetap berpuasa karena iman.

Kalau Allah sudah berkehendak mengubah arah hati manusia, maka taat akan diubah menjadi maksiat. Atau sebaliknya maksiat menjadi taat. Detik ini kita berpuasa, bisa jadi tahun depan kita takkan berpuasa karena meremehkan puasa. Detik ini ada orang tidak berpuasa karena meremehkan puasa, bisa jadi tahun depan orang yang tak berpuasa berubah menjadi taat berpuasa. Semuanya serba mungkin.

Karena itu benar doa yang diajarkan Nabi kita “Ya muqallibal qulub tsabbit qalbii ala diinika (Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami atas agamamu). Setiap saat manusia dapat berubah, dari taat menjadi maksiat atau sebaliknya maksiat menjadi taat. Kita harus selalu mengharap belas kasih Allah agar tak merubah ketaatan kita menjadi kemaksiatan.

Akhirnya Qaul terakhir ini wajib kita renungkan. Pada qaul ke-49 Ibnu Athaillah berkata “la ya’dhumud danbu indaka adzamatan tasudduka an husnid dhanni billahi taala. Fainna man arafa rabbahus tasghara fii janbi karamihi dzanbahu” (jangan sampai dosa itu kau anggap besar sehingga menghalangimu berprasangka baik kepada Allah sebab siapa yang mengenal Allah akan memandang kecil dosa jika diukur dengan kemurahannya).

Maksud qaul di atas bukan berarti kita meremehkan dosa. Tapi hendaklah kita jangan menyimpulkan sesuatu yang tak kita ketahui. Berapa kadar dosa kita juga dosa orang lain, akan diampunkankah dosa kita, akan masuk surga atau nerakakah kita, kita sendiri tak pernah tahu. Namun, Allah ta’ala selalu mendahulukan rahmat anugerahnya daripada azab dan murkanya.

Mereka yang tidak berpuasa marilah kita ajak untuk mendekat kepada Allah. Mereka yang tidak berpuasa boleh jadi merupakan kearifan hidup yang dapat diambil hikmahnya bagi kita yang berpuasa. Adanya orang yang tak berpuasa menjadikan kita tidak takabbur, tapi bersyukur atas nikmat ketaatan itu. Adanya orang yang tak berpuasa merupakan sindiran kepada kita agar selalu berhati-hati dalam menapaki maqam hidup agar tak membelok ke jalan maksiat.

Kini, ketika Ramadan mau berakhir, perspektif tentang orang-orang yang tak beribadah harus kita camkan. Di negeri ini jamak kita lihat bukan hanya orang tak berpuasa tapi juga tak salat, tak berzakat, dan lainnya. Kita jadikan mereka sebagai sinar yang jatuh ke cermin yang pantulannya akan mengenai kita sendiri. Sekali-kali jangan hanya menghakimi tapi timbalah kearifan hidup dari mana saja.

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Kader NU, Penulis Masalah-Masalah Keagamaan. Berdomisili di Sumenep.

Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial

Tulis Komentar


Loading...