Kekerasan Anak, Kasus Pontianak Warning bagi Orang Tua

REDAKSIRIAU.CO.ID Aksi perundungan yang dilakukan sejumlah siswi SMA terhadap seorang siswi SMP di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, akhir pekan lalu harus menjadi bahan introspeksi orang tua dan kalangan pendidik. 

Psikolog dari Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta mengatakan, perundungan atau penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain selalu terjadi dalam bentuk berbeda termasuk di kalangan anak-anak dan remaja. Efeknya terutama secara psikis dapat memengaruhi masa depan mereka. Karena itu, keluarga diharapkan dapat menjadi benteng moral pertama yang menjaga anak-anak agar tidak menjadi pelaku atau korban perundungan. 

Peran orang tua sebagai sosok yang paling dekat sangat dibutuhkan sebagai teladan, pendamping, pemberi perlindungan sekaligus rasa aman dan nyaman. Keluarga adalah tempat utama penanaman nilai-nilai kebaikan dan budi pekerti sejak dini. “Anak yang di rumahnya merasa dicintai, dihargai, diperhatikan tidak akan melakukan kenakalan termasuk perundungan yang mengarah ke kriminalitas," terang Aully kepada KORAN SINDO kemarin.



Orang tua, lanjut dia, seharusnya peka jika anaknya mulai menggunakan kata-kata atau berperilaku kasar. Jangan sampai orang tua justru berperilaku kasar yang bisa dicontoh oleh anak-anaknya dan diterapkan kepada sesama. 



Anak juga perlu diajak berdiskusi dari hati ke hati untuk mengenali kelebihan dan kekurangannya. Anak yang sibuk dengan pengembangan karakter serta potensinya melalui berbagai kegiatan positif tidak akan sempat memikirkan dorongan-dorongan negatif yang muncul dari lingkungannya.

“Dia bakal lebih fokus pada kelebihannya dan mengembangkan potensinya. Dia akan percaya diri dengan kemampuannya sehingga tidak mencari pelampiasan untuk ‘menyerang' orang lain. Terbiasa menyelesaikan masalah secara rasional bukan emosional dan jauh dari kekerasan," jelas Aully.

Peran penanaman nilai ini juga harus maksimal dilakukan oleh sekolah dan pendidik dan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Jangan sampai penyelesaian masalah dengan kekerasan seperti di film atau game justru seolah menjadi kebanggaan. Kebencian, kata Aully, bisa saja muncul dari kekecewaan. 

Dalam kasus di Pontianak, Aully memandang para pelaku secara tidak sadar memupuk rasa benci atas dasar kekecewaan hidupnya, misalnya terhadap keluarga atau terhadap pencapaian diri. Ketika terlibat konflik, mereka memanfaatkannya sebagai kesempatan melampiaskan emosi dari segala kekecewaan tersebut dalam bentuk agresivitas. 

Terlebih apabila ada dukungan kelompok atau geng dan ada “sasaran empuk”. Di tempat terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto berharap semua pihak, baik orang tua maupun guru di sekolah melakukan penguatan karakter terhadap anak-anak dan remaja agar mereka terhindar dari perilaku apalagi menjadi korban perundungan. 

“Apalagi di zaman digital ini, banyak konten di sekitar anak-anak yang dapat berdampak negatif terhadap tumbuh-kembang mereka. Ini tanggung jawab kita semua untuk melindungi mereka dari paparan konten negatif,” tegasnya.

KPAI, kata Susanto, juga mendorong polisi mengusut tuntas kasus perundungan di Pontianak. Para pelakunya harus diproses sesuai Undang-Undang No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dia meminta masyarakat luas yang mengetahui kejadian di Pontianak memandang kejadian ini secara proporsional dan mengambil hikmahnya.

“Prinsipnya, kita tidak semata ingin kasusnya tuntas tapi kasus ini harus menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih peduli dan memperhatikan perilaku anak-anak kita demi masa depan mereka,” ujarnya. 

KPAI beserta Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Pontianak terus berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Pontianak untuk pemenuhan hak rehabilitasi kesehatan korban, termasuk pengawasan ke pihak rumah sakit yang merawat korban. KPPAD pun berkoordinasi dengan pemda setempat dalam memberikan pelayanan psikologis bagi korban dan para pelaku. 

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, aksi perundungan sejumlah siswi SMA terhadap siswi SMP terjadi pada Jumat (29/3) lalu. Korban berinisial ABZ, 15. Sementara itu, pelaku berjumlah empat orang yakni FZL, 17, TPP, 17, AKS dan NNA, 17. Sebenarnya, ada 10 orang yang melakukan perundungan terhadap ABZ, namun hanya 4 orang yang melakukan kekerasan fisik.

Bentuk kekerasan fisik yang dialami korban adalah kepalanya disiram air, dijambak, dipiting, ditendang pada bagian wajah dan bagian belakang tubuh, dipukul berkali-kali pada bagian wajah dan kepala, ditampar dengan sandal, diinjak pada bagian perut, dibenturkan kepalanya ke aspal. Saat korban tak berdaya, salah satu pelaku menekan bagian kemaluan korban hingga nyeri.

Ikuti Terus Redaksiriau.co Di Media Sosial

Tulis Komentar


Loading...