Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Provinsi Riau, Usman mengatakan, angka tersebut dihitung dari total belanja daerah sebesar Rp10,36 triliun setelah perubahan APBD 2016 dengan potensi Silpa mencapai Rp3,41 triliun. Hal itu, tentu berdampak buruk dan menyandera terhadap kepentingan masyarakat Riau.
APBD 2016 sebelumnya direncanakan sebesar 10,9 triliun turun menjadi Rp10,3 triliun setelah perubahan atau turun sebesar 6 persen. Berdasarkan potensi realisasi yang hanya mampu terserap sebesar 67 persen maka diprediksi terdapat Silpa Rp3,41 triliun ditahun 2016, dapat dipastikan silpa tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya.
"Bahkan memungkinkan akan lebih buruk dari tahun 2015 yang terdapat Silpa sebesar Rp3,1 triliun dan tahun 2014 dengan silpa sebesar Rp3,9 triliun setelah audit. Artinya selama tiga tahun (2014, 2015, 2016) uang Daerah mengendap sebesar Rp10,5 triliun yang seharusnya dapat di nikmati masyarakat Riau secara luas," sambungnya.
Prediksi tersebut dihitung berdasarkan realisasi kegiatan yang sedang dilakukan Pemerintah Provinsi Riau melalui Satuan Kerja/SKPD sesuai kegiatan yang telah dilelang, khususnya belanja modal dan barang jasa pada komponen belanja langsung.
Melalui LPSE Provinsi Riau kegiatan yang telah dilelang sampai priode 30 September 2016, yaitu sebesar Rp1,55 triliun atau 31,2 persen dari total belanja langsung sebesar Rp4,96 triliun yang dianggarkan setelah perubahan APBD 2016, terjadi penurunan pada belanja langsung yang sebelumnya sebesar Rp5,58 triliun turun sebesar Rp615,4 milyar.
Atas dasar itu, dapat diperkirakan sampai akhir tahun 2016 potensi penyerapan anggaran pada belanja langsung sebesar 50 persen, atau sebesar Rp2,48 triliun dari total belanja langsung sebesar Rp4,96 triliun.
Angka prediksi 50 persen tersebut, terdiri 31,2 persen atau sebesar Rp1,55 triliun telah dilelang yang dianggap akan terealisasi sampai akhir desember 2016. Sedangkan 18,8 persen atau sebesar Rp932,4 milyar diprediksikan untuk belanja kegiatan yang akan dilaksanakan pemerintah pada priode 1 oktober sampai 31 desember 2016, selain itu juga terdapat belanja kegiatan yang tidak melalui proses lelang.
Penurunan belanja langsung tersebut, salah satunya terdapat pada item belanja bantuan keuangan kepada pemerintah kab/kota dan desa, sebelumnya bantuan keuangan yang dianggarkan sebesar Rp1,58 triliun turun menjadi Rp1,41 triliun, turun sebesar Rp166,8 milyar atau 10,6 persen.
Selain itu, bantuan keuangan kepada Desa sebesar Rp500 juta/Desa sebagaimana dianggarakan pada APBD 2015 di hilangkan pada APBD tahun 2016 ini. Untuk itu, melihat dari penyerapan belanja langsung SKPD yang tidak terealisasi secara maksimal, maka harus di realokasikan menjadi bantuan keuangan pemerintah desa guna untuk percepatan pembangunan desa dan peningkatan ekonomi masyarakat desa, juga untuk memenuhi janji politik yang telah disampaikan.
Selain itu, perhitungan ini juga berasal dari potensi penyerapan anggaran pada belanja tidak langsung seperti belanja pegawai, hibah, bantuan sosial, bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga yang di prediksikan akan terserap hanya 83 persen yaitu Rp4,47 triliun dari total belanja tidak langsung sebesar Rp5,39 triliun setelah perubahan APBD tahun 2016, prediksi ini mengacu pada realisasi belanja tidak langsung tahun 2015 setelah hasil audit.
Jadi dari total belanja daerah Provinsi Riau yang dianggarkan sebesar Rp. 10,36 triliun setelah perubahan, maka dapat diprediksi terserap sampai akhir tahun hanya 67 persen, terdiri dari belanja langsung sebesar 50 persen atau Rp2,48 triliun dan belanja tidak langsung sebesar 83 persen atau sebesar Rp4,48 triliun. Dari prediksi tersebut dapat dipastikan membengkaknya Silpa tahun 2016 sebesar Rp.3,41 triliun.
"Prediksi ini mendekati realisasi serapan APBD tahun 2015 yaitu sebesar 68% setelah audit, ini menunjukan bahwa pemerintah tidak becus mengelola uang rakyat dan mengabaikan kehidupan masyarakat yang layak seperti terbebas dari bencana asap akibat kebarakan hutan dan lahan yang belum lama ini terjadi, apalagi dengan diturunkan anggaran penanganan karhutla pada perubahan APBD 2016,” kata Usman.
Usman juga menambahkan Total belanja pemerintah Provinsi Riau tahun 2016 Rp10.36 triliun tersebut 40% dari total belanja seluruh kabupaten/kota se-Riau sebesar Rp26,78 triliun. Artinya, pemerintah provinsi dalam pengelolaan keuangan daerah belum menunjukkan kinerja membaik, bahkan semakin buruk. Oleh karna itu, pemerintah provinsi harus mengalokasikan dan memperbesar bantuan keuangan terhadap desa guna untuk mempercepat penyerapan anggaran sampai akhir tahun 2016.
Selain itu, Perlu pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien, pemerintah seharusnya melihat fakta dari tahun sebelumnya yaitu Riau yang dilanda bencana asap begitu dahsat dengan kerugian yang besar, seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan anggaran tersebut untuk kegiatan-kegitan yang berdampak terhadap masyarakat banyak, misalnya merealokasikan anggaran yang tidak terpakai untuk kegiatan penanganan karhutla, baik melalui belanja langsung SKPD terkait maupun melalui skema bantuan keuangan terhadap pemerintah desa, bukan justru diturunkan.