Budaya Nelayan akan Hilang Jika Reklamasi Terus Dilanjutkan
REDAKSIRIAU.CO, JAKARTA, – Dampak negatif reklamasi antara lain adalah pencemaran lingkungan. Dikhawatirkan, reklamasi malah membuat sedimentasi laut semakin tinggi dan mata pencarian nelayan akan hilang.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bidang Kemasyarakatan dan Kebudayaan Henny Warsilah menjelaskan, selain dari sisi lingkungan, dampak negatif reklamasi juga dikhawatirkan akan memengaruhi aspek sosial dan budaya.
“Sebetulnya, aspek sosial yang kurang banyak dilihat oleh pengembang. Padahal di sana ada nelayan, petani tambang, ada buruh, banyak sekali kan?” ujar Henny Warsilah saat diskusi National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di Jakarta, Jumat (13/5/2016).
Menurut Henny, dampak ini perlu diperhatikan juga karena peran budaya lokal nelayan bisa hilang. Di satu sisi, nelayan memiliki pengembangan budaya yang sangat bagus.
Mereka memiliki rasa kekeluargaan, saling percaya, dan keinginan untuk mengembangkan tradsi alam dalam menjaga ekosistemnya.
Kalau lingkungan berubah, Henny menduga budaya akan hilang atau tidak mendalam seperti budaya nelayan lainnya.
“Tentunya akan ada kesenjangan sosial terhadap kelompok miskin yang bertentangan dengan kelompok (penghuni) apartemen,” sebut Henny.
Ia menambahkan, nelayan ditinggalkan begitu saja dan pengembang membangun apartemen. Padahal, nelayan tidak punya budaya di rumah dengan tingkat tinggi.
Biasanya, nelayan tinggal di atas tanah atau air. Lagipula, nelayan juga tidak akan mampu untuk membeli unit apartemen di lahan reklamasi.
Budaya tinggal di apartemen atau rumah susun juga berbeda dengan budaya orang Indonesia kebanyakan. Berbeda seperti rumah tapak, rumah susun atau apartemen terlalu sempit dan tidak layak huni.
“Ini juga akan menimbulkan gaya hidup baru atau akan muncul eksklusivitas. Bayangkan, dari kelompok ekosistem secara sosial yang rentan, begitu ada budaya baru tentu yang akan datang dari kelompok pemilik dana dan pemilik industri,” jelas Henny.
Lebih lanjut, nelayan yang masuk dalam kelompok miskin, tidak diberdayakan ekonominya. Hal ini menyebabkan interaksi publik juga berkurang.
Pantai yang tadinya milik bersama, menjadi eksklusif hanya bagi orang-orang di ruang -ruang kapital.
“Reklamasi Teluk Jakarta dasarnya ekonomi semata bukan atas dasar sosial,” tandas Henny.