REDAKSIRIAU.CO, JAKARTA - Pengusaha industri pakan mengeluhkan kesulitan mendapatkan jagung lokal. Sementara di sisi lain, Kementerian Pertanian (Kementan) membatasi impor jagung untuk pakan. Dampaknya, impor gandum yang jadi subtitusi jagung mengalami lonjakan. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementan, Suwandi, mengungkapkan kesulitan yang dialami perusahaan pakan ternak, lantaran mereka tidak banyak melakukan investasi agar bisa memproduksi jagung sendiri. "Kami kan buka selebar-lebarnya investasi di on farm. Kami sediakan lokasi-lokasinya. Cetak sawah jagung sendiri, tanam jagung sendiri, bikin pabriknya di situ, kan lebih sustain (berkesinambungan). Jumlah produksi dan kualitasnya lebih gampang diatur. Tapi mereka nggak lakukan," kata Suwandi, kepada detikFinance, Rabu (28/6/2016). "Itu kan lebih bagus daripada tergantung impor terus. Yang minat baru 3 perusahaan, kenapa tidak on farm sendiri. Kita bantu HGU-nya. Tinggal ambil lokasi yang sudah kita siapkan, kalau susah tenaga kerja bisa pakai petani setempat buat kelola," tambahnya. Suwandi berujar, kalau pun industri pakan enggan mengeluarkan investasi besar untuk membuat ladang jagung sendiri, paling tidak perusahaan pakan bisa menjalin kemitraan dengan petani jagung. "Solusi jangka panjang kita tawarkan on farm, solusi jangka pendek yah bermitra dong dengan petani. Kalau kemitraan kan sustain, tinggal petani dibina, kalau harga kontrak bagus, petani nggak bakal jual ke pihak lain," ucapnya. Suwandi berujar, produksi jagung pipilan kering pada tahun 2015 sebesar 19,61 juta ton. Produksi minimal jagung di tahun ini yang dalam kondisi La Nina ditargetkan 21,53 juta ton. Dengan hitungan tersebut, menurutnya, produksi jagung 2016 ini lebih dari cukup guna memenuhi kebutuhan industri pakan 750.000 ton per bulan dan total kebutuhan jagung nasional 1,55 juta ton per bulan. Bahkan produksi jagung di tahun 2016 ini diprediksi akan surplus 1,3 juta ton.