REDAKSIRIAU.CO, JAKARTA - Pembahasan revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah masih menuai perdebatan antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah pun mengusulkan agar penyelesaian pembahasan tersebut diundur hingga akhir Mei 2016.
"Pak Tjahjo (Mendagri) ijin mau konsul langsung ke Presiden. Kami tadi malam sudah dapat masukan supaya pembahasan revisi tidak dipaksa selesai 30 April," kata Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy di Kompleks Parlemen, Selasa (26/4/2016).
Setidaknya, ada dua pasal yang masih menjadi perdebatan, yakni terkait persoalan syarat dukungan bagi calon independen dan ketentuan mundur atau tidaknya calon yang berasal dari TNI/Polri dan PNS.
Menurut dia, perdebatan soal syarat dukungan bagi calon independen, pemerintah, dan DPR hampir mencapai kesepakatan. Pemerintah menginginkan agar syarat dukungan tersebut cukup 6,5-10 persen saja. Sebab, angka itu dipandang memenuhi aspek psikologi publik.
"Kalau ikut Gerindra yakni flat 10 persen sebenernya angka akhirnya sama, tapi tidak masuk psikologi publik tadi karena ada perubahan angka. Kita bisa terima 6,5 persen," ujarnya.
Namun, ia mengatakan, DPR juga menginginkan adanya aspek keadilan dan kesetaraan di dalam revisi UU tersebut. DPR pun meminta pemerintah menetapkan batas angka yang tinggi untuk jumlah Data Pemilih Tetap tertinggi.
"Hasilnya ketemu 15 persen untuk parpol. Yang paling adil dan setara walaupun tidak apple to apple independen 6,5-10 persen, dan parpol 15-20 persen. Dan pemerintah sampai saat ini oke tapi tadi konsul ke Presiden dulu," lanjut dia.
Terkait mundur atau tidak mundurnya calon dari TNI/Polri dan PNS, yang masih menjadi persoalan yakni UU yang mengatur ketiga instansi tersebut. UU TNI dan UU Polri secara tegas telah mengatur bahwa personel mereka dilarang terlibat politik praktis.
Begitu pula calon yang berasal dari PNS yang wewenangnya diatur melalui UU Aparatur Sipil Negara. Di dalam perdebatan yang mengemuka, kata dia, ada usulan agar aturan mundur itu dicabut di dalam UU Pilkada.
"Tapi Mendagri tidak mau, silahkan cabut di UU ASN. Menpan RB juga tidak mau karena ini menyangkut reformasi birokrasi," ujarnya.
Namun, ia menambahkan, jika merujuk pada Pasal 38 ayat (3) UUD 1945, maka setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih di dalam pemilu. Tidak boleh ada diskriminasi di dalam hak setiap warga negara yang ingin menggunakan hak politiknya.
Selain itu, ia mengatakan, Mahkamah Konstitusi menilai jika UU Pilkada masih bersifat diskriminatif. Sebab, di satu sisi calon yang berasal dari ketiga institusi itu harus mundur, hal yang sama tak berlaku bagi calon yang berasal dari DPR, DPD dan DPRD.
"Bagusnya UU Pilkada ini tidak memberlakukan secara diskriminatif," kata dia.