REDAKSIRIAU.CO.ID, PEKANBARU — Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mengakui bahwa pelecehan seksual di lingkungan kampus di Indonesia tak ubahnya seperti fenomena gunung es. Sebanyak 77% dosen mengakui pernah melihat kekerasan seksual di lingkungan kampus dan 65% diantaranya tidak berani melaporkan kasus tersebut

Hal ini diungkapkan oleh Nadiem dalam podcast di Youtube Deddy Corbuzier, seperti dilihat Bertuahpos.com, pada Kamis, 18 November 2021. Berdasarkan riset lainnya, kekerasan seksual terjadi bukan didominasi oleh wanita dengan pakaian terbuka, melainkan mereka yang mengenakan pakaian cenderung dan lebih tertutup, dan kasus kekerasan seksual tidak terjadi pada malam hari, tapi di dominasi pada siang hari (30%) dan sore hari (20%).

“Fakta ini mengungkapkan bahwa pakaian hanya dijadikan alasan pembenaran bagi pelaku mengapa pelaku melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan waktu menunjukkan potensi terjadinya kekerasan seksual justru pada saat jam kerja, dan tidak ada ketakutan dari pelaku untuk melakukan perbuatan tersebut,” ungkapnya.

Pernyataan Nadiem ini merespon hebohnya kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional (HI) Fisipol Universitas Riau (Unri) yang sempat viral di sosial media beberapa waktu lalu. Lebih mencengangkan, pelaku diduga adalah dosen sekaligus Dekan Fisipol Unri atas nama Syafri Harto, yang kini sudah ditetapkan tersangka oleh pihak Polda Riau atas kasus pelecehan seksual.

Baca: Video: Istana Hinggap, Rumah Singgah Sultan Syarif Kasim II

“Jika kita melihat dasar dari persoalan ini, bukan masalah cara berpakaian, tapi pola pikir yang tidak bisa dikontrol sehingga menghasilkan tindakan pelecehan seksual. Nafsu itu wajar ketika melihat sesuatu, tapi melakukan tindakan pelecehan seksual tetap saja itu sebuah kesalahan yang melanggar hukum. Jadi nggak ada korelasinya dengan cara orang berpakaian,” ungkapnya.

 

“Saya kadang-kadang merasa tersinggung dengan pernyataan seperti itu. Bukan hanya perempuan, tapi sebagai cowok, kok merasa kita lemahbanget, karena kita nggak punya kontrol. Itu sama saja meremehkan cowok-cowok kan. Ini masalah perilaku dan mengontrol diri,” sambungnya.

Menurut Nadiem, harus ada pemisahan antara apa yang dipikirkan seseorang dengan apa tindakan yang harus dilakukan seseorang, dalam kasus ini adalah pelecehan dan kekerasan seksual. “Pemisahan antara apa yang dipikir dengan tindakan apa yang akan dilakukan itulah yang membedakan kita dengan binatang,” ucapnya.

Nadiem berucap, bahwa kondisi seperti itulah yang saat ini beredar di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia. Lantas, masalah lain yang juga sering dihadapi korban, yakni minimnya bukti. Terkait persoalan ini, dia menjelaskan korban yang paling cenderung menerima sanksi sosial oleh orang-orang terdekat mereka.

“Misalnya ada korban pelecehan seksual di kampus, dia tidak mempunyai alat bukti, lalu ada dorongan pada dirinya untuk lebih berani dengan menceritakan kejadian itu pada teman-temannya, maka orang di sekitarnya cenderung mendorong agar dia berhenti memperpanjang masalah itu,” katanya.

“Anggaplah, si korban lebih berani lagi dengan melaporkan ke tingkat institusi, maka si korban akan didorong untuk melakukan penyelesaian persoalan itu secara kekeluargaan. Ini jelas menurunkan derajat penyelesaian masalah dengan prinsip-prinsip kekeluargaan, bukan seperti itu caranya. Didorong untuk lebih berani lagi, dengan membuat pengakuan misalkan di sosial media, maka si korban berpotensi terjerat UU ITE. Di sini rumitnya menurut saya,” kata Nadiem. (betuahpos