REDAKSIRIAU.CO Aksi penjambretan dan pembegalan belakangan marak terjadi di Jakarta. Dua jenis kejahatan ini telah membuat korbannya kehilangan harta benda, nyawa, maupun terluka.

Kriminolog dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar menyoroti tiga poin mengenai fenomena ini yakni locus delicti atau tempat kejadian perkara dan waktu, motif pelaku, serta pola kerja aksi ini.

1. Locus delicti dan waktu 

Pada bagian ini, Bambang menilai, street crime atau kejahatan jalanan kini tak lagi dapat diidentikkan dengan lokasi sepi dan dilakukan pada malam hari. 

Dari sejumlah kasus penjambretan di Jakarta, beberapa kasus justru terjadi saat pagi hari dan dalam kondisi yang ramai.

Sebut saja kasus penjambretan Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarief Burhanudin di kawasan Kota Tua. Kasus itu terjadi Minggu (24/6/2018) pagi.

Penjambretan yang menewaskan penumpang ojek online berinisial W (37) di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, juga terjadi pada Minggu (1/7/2018) pagi. 

"(Dalam beberapa kasus) Jalanan merupakan TKP yang menarik bagi para pelaku karena kondisi kesemrawutan justru menguntungkan dalam melakukan tindak pidana," ujar Bambang, ketika dihubungi, Rabu (4/7/2018).

Dia menilai, para pelaku penjambretan berpikir kondisi jalan yang ramai justru memudahkan untuk lari dan lepas dari pengejaran. Selain itu, lanjut dia, kondisi jalan yang ramai dapat lebih mudah mengecoh korbannya.

"Jadi, waktu sibuk bisa dimanfaatkan pelaku untuk beraksi. Namun, bukan berarti jalanan selalu menjadi locus delicti (yang dipilih)," lanjut dia. 

2. Motif

 

Bambang mengatakan, sejumlah faktor turut melatari motif pelaku melakukan dua jenis kejahatan ini. Utamanya karena pelaku ingin mencari uang yang disebabkan tak punya pekerjaan.

 

Kendati demikian, lanjut dia, motif ekonomi tak dapat dijadikan hipotesa satu-satunya yang mendorong seseorang menjadi penjambretan atau begal. 

"(Ada juga motif) membuat sensasi, membuat ketegangan, sehingga tidak peduli lingkungan (saat melakukan aksi)," kata Bambang. 

Tetapi, pergeseran motif itu masih perlu ditelusuri lebih jauh. Saran dia, polisi harus tuntas menyelesaikan kejahatan ini dengan menyelidiki motif dasar pelaku. 

"Jadi, banyak faktor yang melatarbelakangi, jadi enggak bisa (polisi) main tembak saja, hilang sebentar nanti muncul lagi kayak geng motor," ujar dia. 

3. Pola kerja

Terungkapnya sindikat jambret 'Tenda Oranye' menurut Bambang menunjukkan bahwa penjambret tak hanya beraksi sendiri. 

"Tapi, perlu digarisbawahi, ini kejahatan konvensional atau berkelompok. Menurut saya, bukan organized crime, berbeda ya," kata dia.

 

Ia berpendapat, sebenarnya kejahatan konvensional tak semasif kejahatan yang terorganisasi. Namun, bukan berarti fenomena ini tidak menjadi perhatian. 

Kepolisian diminta dapat merilis peta kerawanan jalan kepada masyarakat, sehingga selain pola pengamanan menjadi terarah, masyarakat juga dapat lebih waspada. 

"Tingkatkan pengawasan di jalan dengan dilakukan secara koordinatif oleh seluruh unsur polisi. Koordinasi juga dengan pemda (camat, lurah, ketua rt/rw) agar mencatat anak-anak yang nakal (berpotensi berbuat kriminal) di wilayahnya," papar dia.

kompas.com